5 September 2016

I CATCH YOU, EIFFEL !

Been a while todos!

Masih di akhir bulan November 2015. Selepas landing, aku dan Citra kembali menunggu. Namun kali ini bukan penerbangan lagi yang kami tunggu, karena kami sudah di Paris! “Kita nyampe di Paris Ey!” Seru Citra bersemangat. Ia sampai-sampai tak sadar sudah mencengkram lenganku terlalu kencang saking gemasnya. Aku meringis sesaat dan ikut-ikutan semangat 45. Kami celingukan mencari seseorang yang akan membawa kami ke tengah kota. Karna ngomong-ngomong, bandara Beauvais tempat kami landing saat itu berada di pesisian kota Paris. Kami masih harus menempuh sekitar 45 menit sampai satu jam untuk bisa sampai ke tengah kota Paris dengan menaiki shuttle bus. Tetapi karena harga yang ditawarkan shuttle bus menurut kami lebih mahal dari harga tiket promo pesawatnya, maka pada akhirnya aku dan Citra memutuskan untuk memakai jasa bla-bla Car. Bisa dibilang ini semacam taxi grab atau go car. Dimana kita harus punya akun, memasukkan pencarian tujuan, dan memilih salah satu bla bla car terbaik dari penawaran harga yang variatif. Sebut saja orang yang kami pilih bla bla car nya bernama Alex. Setelah memastikan Alex masih mempunyai kursi untuk dua orang, barulah kita menyetujui untuk memakai jasanya. Kami kemudian mendapatkan nomor Alex setelah bertukar pesan lewat email yang tercantum di akun bla-bla car nya. Dan selanjutnya negosiasi harga pun bisa ditempuh via whatsapp. Sekedar info, harga yang tercantum di website bla bla car belum fix price, kalo kamu berani, masih bisa kok nego sama drivernya semisal harga itu kemahalan untuk jarak tempuh ke tempat tujuan kamu atau sebaliknya drivernya merasa jarak tempuh destinasi kamu terlalu jauh. Jadi intinya deal-deal an secara personal.

Aku berkali-kali mengecek whatsapp ku setelah mendapatkan wifi, namun belum ada balasan. Kami sudah berganti-ganti posisi, tak nyaman. Dari duduk di deretan kursi tunggu depan kios kios dalam bandara, bangkit berdiri, mondar-mandir, bahkan bolak-balik mengecek parkiran dari pintu keluar. Mungkin sedikit tak sabaran, tapi mengingat cuaca di Paris yang ternyata lebih dingin dibanding di Castellon, membuat kami terus-terusan menggigil walau dengan sweater dan jaket musim dingin. Juga, kami tak nyaman dibuntuti terus menerus kemanapun oleh gerombolan militer yang berjaga di bandara, bahkan pergi ke toilet sekalipun. Masih ingat kan, Paris attack yang terjadi tanggal 13 November 2015 lalu? Yang sedikit bikin geger dan sensi sama Islam. Kami sempat ragu untuk mengunjungi Paris mengingat kondisinya, namun kalau kata orang Jawa ‘uwes kadung’ karna tiket sudah ditangan dan sayang kalau harus di reschedule. Susah-susah dapet tiket ke Paris sampe less than 10 Euro kan?.  Maka, dengan nekad akhirnya kami tetap memutuskan untuk berangkat. Happiness bukan datang dengan sendirinya kan? Tapi kita yang ciptakan. Meski mungkin timingnya sedikit belum pas, karna yang kurasa saat itu Islamophobia masyarakat sana masih terasa meski sudah dua minggu berlalu semenjak insiden teror itu berlangsung, tapi Inshaallah, there will be good things in a everyday, isn’t it?


Setelah menunggu hampir dua jam, Alex akhirnya datang. Ternyata dia mencari satu penumpangnya lagi asal Italia, tapi belum ketemu. Aku dan Citra akhirnya bernapas lega. Kami dan Alex berkenalan sesaat lalu bergegas menuju mobilnya di pelataran parkir. Alex kalau tidak salah ingat asli orang Perancis, namun Ayah-Ibu nya asli Afrika. Dia bilang dia pernah mengunjungi Malaysia dan Sumatra, juga Brunei, juga Thailand, dan entah apalagi yang dikatakannya saat itu. Mendengar bahwa aku dan Citra berasal dari Asia, Alex menjadi sangat excited. Jadilah sepanjang perjalanan kami bertukar cerita, tentang negaraku Indonesia, dan Alex bercerita tentang kondisi Paris hari itu, walau sudah tidak terlalu tegang, namun Alex bilang kota Paris masih siaga, makanya tak heran kalau masih banyak polisi dan anggota militer berkeliaran dimana-mana. Ditengah perjalanan, akhirnya Alex bertemu dengan penumpang ketiganya. Namanya Gretta, asal Italia. Pembicaraan kami semakin menyenangkan dengan adanya Gretta. Gadis yang berusia kira-kira sekitar 20an itu sangat ramah dan supel sekali. Kami keasikan berbincang-bincang sampai tak sadar bahwa metro tujuanku dan Citra sudah didepan mata. Dengan berat hati aku akhirnya turun dari mobil, mengucapkan terimakasih dan selamat tinggal. Sebelum menghilang di balik jalan, Alex kembali membuka jendela mobil dan berkata "If you come back to Paris next time, make sure to bring your husband! and stay at my house" Serunya sambil berlalu. Aku hanya bergeming, kemudian tersenyum kaku dan berkata "Oke!".

Aku dan Citra saling tatap, menghela napas sejenak mencoba menguatkan satu sama lain. Yahh, kami masih harus naik metro dua kali sebelum akhirnya benar-benar sampai di tempat istirahat. Akhirnya kami berjalan sedikit lunglai menuruni anak tangga yang membawa kami ke lorong stasiun metro. Aku mendekati ruang informasi dan bertanya jalur metro yang benar menuju villejuif. Namun kendala bahasa mulai terlihat, Ibu paruh baya yang bertugas di tempat informasi tidak terlalu mengerti ucapanku, dia terus-terusan menjawab dengan bahasa Perancis yang justru tak ku mengerti. Akhirnya dia menyodorkan leaflet yang berisi peta metro di Paris, aku menerimanya dan mengucapkan 'merci beacoup' sebelum pergi. Akhirnya kami berpetualang sendiri, sempat salah naik jurusan metro dan bertemu abang ganteng pertama yang rela mengantar kami menuju ke jurusan yang benar. Oh ya, hari itu naik metro digratiskan karena bertepatan pula dengan penyelenggaraan Konferensi Iklim Persatuan Bangsa-Bangsa 2015, atau disebut COP 21 dan Paris sebagai tuan rumahnya, yang dimana bapak Presidenku juga sebenarnya datang. Hanya saja sayang tak bertemu sapa. (emang siapa loe?) haha. Maka dari itu, nyasar berkali-kali tak membuatku dan Citra menghabiskan isi kartu metro kami. Kami menaiki metro nomor 5 dari Gare d' Austerlitz dengan tujuan akhir Place d'Italle. Lalu setelah turun di Place d'Italle, kami berganti metro dan menaiki metro nomor 7 dengan destinasi akhir Villejuif Louis Aragon

Isi metro masih tetap ramai, Citra kembali mengingatkanku untuk tetap berhati-hati dengan barang yang kubawa. Aku mengangguk setuju. Setelah destinasi Villejuif Paul Vaillant-Couturier terdengar disebut dari speaker dalam metro, kami memutuskan untuk turun. Jalanan benar-benar sudah gelap saat kami sudah keluar dari stasiun metro. Tinggallah sebuah alamat yang tertera di layar hp ku untuk dicari. Aku mendekati sebuah papan digital berisi peta daerah sekitar yang terletak di dekat stasiun metro tempat kami turun tadi. "Hmm.. kayanya ke situ deh, sama kan nih, nama jalannya? rue .." aku menunjuk ke arah kanan sembari menatap bolak balik antara layar hp dan peta digital itu. "Masa sih Ey, kayanya ke kiri deh" sahut Citra. "eh, atau lurus!" tambahnya. Jadilah kami semakin bingung, berada di tengah-tengah perempatan dan buta arah. Namun entah datang dari mana, seseorang mengetuk papan digital depan kami dan memberi isyarat pada kami untuk mengikutinya. Sosok abang ganteng kedua dengan rambut gondrong itu langsung berjalan lebih dahulu didepan kami. Aku sempat takut sedikit, tapi kemudian mencoba positif thinking. Mungkin saja sedari tadi abang itu mendengar percakapanku dan Citra yang menyebut-nyebut nama jalan tujuan kami. Tapi, dia kan tak tahu nomor rumahnya. Akhirnya aku mencoba membuka percakapan dengan 'excuse moi' berkali-kali, tapi sepertinya dia tak dengar. Karena oh, dia ternyata memakai earphone, pantas saja dia berjalan dengan gaya sok asik (menurut pengamatanku dari belakang), mungkin sambil mendengarkan musik? atau telpon?. Dipanggil gak nyaut, aku mempercepat jalanku sampai hampir menjajarinya. Aku menepuk bahunya dan gotcha! finally dia menoleh. Kusodorkan hp ku yang menampilkan catatan alamat rumah yang kami tuju, berharap dia paham dengan maksudku yang menunjukkan lebih detail nomor rumah tersebut. Dia hanya mengangguk sok cool dan kembali berjalan mendului kami. Fix! Kali ini aku baru ragu, jangan-jangan dia mau nyulik atau bawa kami ke tempat yang bahaya. Semakin liar imajinasiku, semakin agak jauh pula kami berjalan. Namun tiba-tiba dia berhenti dan menunjuk salah satu pagar rumah di pinggir kami. Aku dan Citra celingukan sesaat, tapi langsung buru-buru melihat nomor yang tertera di rumah itu. Ternyata itu rumah tujuan kami! Kemudian kami melirik abang tadi yang ternyata sudah melanjutkan jalannya. Aku setengah berteriak mengucapkan terimakasih, namun dia tak berbalik, hanya tangan kirinya saja yang terangkat seperti mengisyaratkan 'no problemo'. Huh dasar abang sok cool! Umpatku dalam hati, namun tetap bersyukur dan penuh rasa terimakasih pada abang tadi, meski sempat su'udzon. hehe.. Yang terbayang di benak kami selanjutnya adalah mandi, makan, dan tidur. Karena besokkk.. besok will be a great day!


***
Keesokan paginya sekitar pukul 9, aku dan Citra sudah siap jalan-jalan. Berbekal beberapa roti dan sebotol air keran, juga catatan kecil yang berisi deretan nama-nama tempat yang akan kami kunjungi di Paris. Oya! dan tak lupa leaflet berisi peta jalur metro-nya. Pertama-tama kami kembali berjalan menuju stasiun metro terdekat. Kali ini, tujuan pertama kami adalah Mesjid besar Paris. Aku tak sabar tentunya ingin melihat seperti apa rumah Allah dikota mode ini. Setelah menaiki metro jalur 7 dan berhenti di Place Monge, kami keluar stasiun metro dan mulai mencari Mosque de Paris. "Dimana mesjidnya nih ey?" tanya Citra kebingungan. Aku pun bingung karna yang kami lihat setelah keluar dari stasiun metro adalah jalanan besar yang agak sepi. Bangunan-bangunan besar bergaya Eropa berjejer menjulang mengelilingi daerah itu. Alhasil, kami jadi benar-benar tak tahu arah harus kemana mencari mesjid itu. "Udah jalan dulu aja yuk" kataku yang disetujui Citra. Kami menelusuri pedestrian sambil celingukan bingung dan setengah terpana mengagumi tata kota ini. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada wanita paruh baya yang terlihat sedang merapikan tanaman di halamannya. Aku mendekati pagar rumahnya dan wanita itu tersenyum saat menyadari kehadiranku. "excuse moa? je yu dimongdi, u e moske de pari?" Itu yang seingatku kutanyakan pada wanita itu. Entah gimana nulisnya yang bener, yang pasti artinya semacam 'permisi, saya mau tanya mesjid Paris di mana ya?'. Wanita itu kemudian mengangguk-angguk dan berceloteh dengan bahasanya. Meski tak paham yang dia katakan, tapi setidaknya ku mengerti gerakan tangannya. Lurussss, belok kiri, belok kanan, seperti itu. Aku mengucapkan terimakasih sebelum berlalu mengikuti arahan dari wanita itu. Luruss, belok kiri di belokan pertama, dan belok kanan. Woow! Aku terpaku sesaat. Kaget tentunya.  

Masjid itu berdiri megah didepan kami, namun tidak seperti kebanyakan mesjid-mesjid di Indonesia. Bangunan luarnya di benteng tinggi-tinggi, dan yang paling mengejutkan adalah banyaknya anggota polisi dan militer berseragam yang berjaga didepan mesjid. Kami sempat merinding sesaat, namun akhirnya memutuskan untuk masuk. Alhamdulilahnya, kami bertemu bapak-bapak seperti kyai tanpa sorban. Beliau sangat ramah walau sebenarnya tak satupun yang kami pahami dari ucapannya, kecuali saat pertama kali dia bertanya apakah kami seorang muslim. Saat itu, kami menyempatkan diri untuk shalat dhuha dan berkeliling sesaat. Setelah puas mengunjungi masjid besar di Paris, aku dan Citra memutuskan untuk melanjutkan petualangan kami menuju museu du Louvre. Dari Louvre, kami hendak mencari stasiun metro untuk sampai di ikon paling hits di Paris. Namun ternyata dari Louvre, tower itu sudah terlihat! Kami loncat-loncat kegirangan, dan tanpa sadar sudah berlari-lari menuju arah menara Eiffel. Tapi ternyata, setelah berjalan lumayan jauh dari Louvre, menara itu tak kunjung mendekat. Akhirnya kami beristirahat sesaat di kursi taman yang menghadap langsung ke bentangan sungai Seine. Menara itu sudah dekat, namun sebenarnya masih lumayan jauh. Maka dari itu, seharusnya kami naik metro saja tadi. 

Beberapa menit setelah itu kami kembali berjalan menyusuri jalan disamping Seine river, sambil tak henti-henti menatapnya penuh takjub. Setelah melewati sungai, kami kembali melewati daerah pertokoan dan flat-flat tinggi. Hingga akhirnya saat kami berbelok ke kanan, finally I see you! Menara itu bak raksasa yang menurutku terlalu besar dan agak menyeramkan dilihat dari dekat. Haha. Namun tetap saja hati kami seakan membuncah, aku dan Citra langsung berlari mendekati menara itu dengan sisa kekuatan kami. MasyaAllah! 




Share:

0 comments:

Post a Comment