17 September 2016

Sajadah Rindu


Senja sore itu mengundang hujan ternyata. Itu kali pertama bagi Rabil merasakan kalau hujan datang tepat waktu, yaitu saat Rabil ingin menyembunyikan air matanya yang merebak. Jalanan mulai sepi, mungkin semua orang sedang bergegas merapikan diri menyambut magrib. Namun Rabil masih berjalan di jalanan yang lengang, menerobos hujan yang mengguyur sekujur tubuhnya. Kakinya setengah berlari, ingin cepat sampai rumah. ‘Ayo Rabil, 500 meter lagi sampai rumah’ bisiknya sok tegar. Ia mendekap tubuhnya yang mulai kedinginan, jilbab yang dikenakannya pun sudah tak karuan. Tapi pikirannya masih terlempar jauh, menuju kenangan-kenangannya yang melambung tinggi namun mendarat penuh luka seperti hari ini. Kali ini, biarlah Rabil bercerita sedikit tentang kisahnya, kisah gadis remaja yang sewajarnya pernah merajut kasih dan merasakan fitrah cinta pada lawan jenisnya.

Ayra Bila, begitu nama panjangnya. Hanya saja ayah-ibunya sudah terbiasa memanggilnya Rabil, sehingga semua temannya pun ikut memanggilnya Rabil. Gadis 20 tahun ini tergolong supel dan menyenangkan, namun ternyata dia ringkih terhadap perasaan. Menjadi anak kuliah membuatnya sedikit berbeda. Rabil merasa dirinya sudah lebih dewasa, mampu mengontrol emosi dan lebih telaten dalam mengerjakan hal apapun. Walau kenyataannya yang dia tahu masih sehempas debu, masih nihil, ia masih jauh dari kata dewasa.

Lalu Bintang Pratama, yang teman-temannya bilang memang seorang bintang di kampusnya, adalah sosok yang juga sudah menyita detik-detik waktu Rabil, dan mencuri detak-detak hatinya. Singkat cerita, Bintang dan Rabil punya sesuatu yang hanya mereka jaga sendiri. Jauh dari obrolan orang, jauh dari nasihat orang, pokoknya hanya Bintang dan Rabil yang tahu. Rabil studi di jurusan yang berberda dengan Bintang meski di universitas yang sama, namun mereka tak sengaja bertemu di salah satu acara besar kampus. Rabil dulu sempat ragu dan ogah-ogahan kala Bintang mencoba mendekatinya, tapi seiring berjalannya waktu, hati bisa berubah bukan?

Menemukan dan memiliki seseorang yang dicintai adalah suatu anugrah. Hari-hari Rabil berubah, sedikit berbeda, eh sangat berbeda. Naluri ingin menyapa dan disapa, memberi perhatian dan diperhatikan, bertatap muka sesering mungkin, berbagi cerita sebanyak mungkin, dan berangan-angan sejauh mungkin, menderu-deru setiap harinya. Rabil belum tahu, ia belum paham resiko jatuh cinta. Yang dia tahu hanyalah menjalin hubungan yang anti mainstream, yang gak perlu orang-orang tahu. Tapi, bukankah Allah pasti tahu? Bukankah semua hubungan antara lawan jenis pasti sama? Gak ada yang anti-mainstream. Semua pasti extream dimata Islam, dimana Allah.

Menuju beberapa bulan hubungannya yang tak jelas, angan-angan Rabil bersama Bintang semakin jauh. Perihal janji setia selamanya, komitmen bersama sampai pelaminan, membangun rumah masa depan berdua bak surga, dan mimpi-mimpi besar yang sempurna membuat Rabil terlena, bahagia tingkat dewa, yakin sehidup semati bersama Bintang. Namun percayalah, itu hanya sementara. Allah sang muqollibul qulub, sang maha pembolak-balik hati yang memiliki hati setiap insan. Yang mempunyai hak tertinggi mengatur rasa dan asa setiap manusia. Rabil bisa apa? Saat pada akhirnya siang itu Bintang mengajaknya bertemu. “Kok tumben ngajakin ketemuan disini Bintang?” tanya Rabil yang sedikit aneh menatap sekitar. Ini perpustakaan kampus, dan ini kali pertamanya Bintang dan Rabil bertemu di perpus. “Ya.. gapapa, biar nyantai aja.” Jawab Bintang sekenanya. Bintang sibuk dengan beberapa buku dihadapannya. Rabil mencomot salah satu buku yang sampulnya paling eyecatching. ‘Ohh, Bintang lagi nugas ya..’ Rabil manggut-manggut mengerti. Tapi rasanya, ini juga kali pertama bagi Rabil menemani Bintang mengerjakan tugas kuliahnya. Selama ini, tiap bertemu Bintang pasti hanya untuk makan, nonton, jalan-jalan atau menemaninya bermain bola. Seingat Rabil, tidak pernah sekalipun Bintang membagi keluh kesahnya bersama Rabil, padahal Rabil sendiri seringkali mengeluh dan banyak meminta bantuan Bintang yang tentunya selalu ada untuk Rabil. Itu seperti tamparan baru, seakan-akan Rabil baru tersadar dirinya tak pernah berguna untuk Bintang. “Tang.. kamu sibuk ya? Mau aku bantu?” tanya Rabil. “Gak, kamu disitu aja nemenin ya.. atau cari buku apa gitu” sahut Bintang tanpa menghiraukan raut muka Rabil yang mulai gelisah. Apa ia benar-benar tak berguna untuk Bintang?. “Tapi tang, aku bisa bantu kamu kok. Kamu kalo ada masalah bisa cerita sama aku. Aku bisa bantu kamu apaa gitu. Kan jadinya aku bisa berguna disini. Sama Rara, Denada, Tari, kamu biasanya sambil happy-happy kalo ngerjain tugas. Pertama kali aku temenin, malah cuek gitu..” Protes Rabil tak terima. Mendengar itu Bintang berhenti membolak-balikkan bukunya. Ia melepas kacamatanya dan menatap Rabil tak mengerti. “Ra.. justru ini nih, kenapa aku gak pernah ajak kamu nemenin aku ngerjain tugas. Kamu pasti bete” Rabil mengernyit, kaget dengan jawaban Bintang. “kok kamu gitu sih tang? Aku kan cuma pengen bantu kamu.”
“Iya Ra, makasih. Tapi kamu mau bantu aku apa? Ngerjain tugasku kan kamu belum tentu ngerti. Bukannya jadi cepet kelar, eh malah jadi lama kan.. Makanya kamu diem aja disini nemenin aku, aku gak akan lama kok, ya?” Pinta Bintang penuh sabar. Namun Rabil merasa tersisih, merasa tak mampu dan tak berguna. Rabil menatap Bintang kesal dan tak percaya. “Maaf kalau aku gak pernah bisa bantu kamu ya tang..” Bintang mendesah, merasa serba salah kali itu. “Udah ya Ra.. kamu pengen tahu masalah-masalah aku? Masalah aku tuh segede gini nih, banyaaakk” Bintang merentangkan tangannya menyiratkan tumpukkan masalahnya. “Tapi kamu gak harus paham, cukup deh jadi salah satu pemanis ditengah masalah-masalah itu.” Tambahnya lagi. “Jadi aku cuma pemanis?”
“Udah dong Ra.. gak usah drama begitu, aku kan jadi capek, semua nanti gak kelar kalau dengerin kamu ngoceh terus”
“Bintang! Aku ini apanya kamu sih? Akhir-akhir ini kamu beda deh, cuek gitu..”
“Trus kamu mau aku gimana?”
“Yaa.. gimana kek, yang penting gak kayak gini.”

“Yaudah mulai sekarang kita sendiri-sendiri aja Ra.. mulai sekarang, kita fokus urusin kerjaan masing-masing aja. Kalau gak penting-penting banget mending ga usah ketemu atau sekalian gak usah kita kontakan lagi"
Deg! Rabil tersentak tegang. Rasanya mungkin dia salah dengar atau apa. Tapi, Rabil tak ingin Bintang memperjelas kata-katanya lagi, dan Rabil saat itu tak bisa mencerna apapun. Tiap kata yang terucap dari mulut Bintang terdengar tak nyaman. Apa benar Bintang memutuskan hubungannya dengan Rabil? Rabil ingin bertanya, resah. Namun ia terlalu takut menerima kenyataan. Hatinya sesak, tak tahu harus berkata apa. Dalam keadaan yang tak diduganya, Rabil akhirnya bangkit berdiri, beranjak pergi meninggalkan Bintang yang menatapnya berlalu. Kini, Rabil mengurung diri dikamar. Masih dengan mukena lengkap yang ia kenakan, selepas shalat maghrib. Rabil terduduk murung  dan tak bergeming diatas sajadah. Namun hatinya remuk, ia perlu tempat bercurah hati.
***
3 bulan telah berlalu sejak hari itu. Tak ada lagi gelisah tersisa di hati Rabil. Memang sudah tiga bulan berlalu pula Rabil kehilangan kontak dengan Bintang, awalnya terasa sulit, namun buktinya Rabil mampu untuk tidak bergantung pada laki-laki itu. Kini yang Rabil fikirkan adalah bagaimana caranya ia bisa fokus menjadi mahasiswa berkualitas dan lulus secepat mungkin. Seulas senyum terlukis diwajahnya. "Hari ini harus hebaaaatt!" seru Rabil memotivasi diri. Matahari sudah menyembul hangat menyinari pagi, tapi Rabil masih betah duduk diatas sajadahnya dengan mukena lengkap dan al-qur'an kecil ditangannya. Rabil sadar, hanya Allah-lah yang mampu menerima curahan hatinya dengan baik. Yang dengan sabarnya selalu mendengar segala gemuruh amarah dan gelisahnya, hingga akhirnya hatinya mau bersabar, bersyukur, dan ikhlas mengolesi rindu dengan hal-hal bijak. Diatas sajadah inilah Rabil mengerti, diatas sajadah ini pula Rabil berserah. Biarlah kerinduannya pada Bintang menciut, tergantikan rindu pada sang Khalik yang menggebu-gebu setiap harinya. Rabil tentunya akan mencari jawaban tentangnya dan Bintang, namun melalui jalan yang seharusnya, melalui perantara yang paling tepat dari semua yang tepat.
Share:

0 comments:

Post a Comment